Wednesday, 7 October 2009

Pernikahan dini

MARAKNYA pernikahan dini yang dialami remaja puteri berusia di bawah 20 tahun ternyata masih menjadi fenomena di beberapa daerah di Indonesia. Tema pernikahan dini bukan menjadi suatu hal baru untuk diperbincangkan, padahal banyak risiko yang harus dihadapi mereka yang melakukannya.

Pernikahan dini dikaitkan dengan waktu, yaitu sangat awal. Bagi orang-orang yang hidup abad 20 atau sebelumnya, pernikahan seorang wanita pada usia 13-16 tahun atau pria berusia 17-18 tahun adalah hal yang biasa. Tetapi bagi masyarakat kini, hal itu merupakan sebuah keanehan. Wanita yang menikah sebelum usia 20 tahun atau pria sebelum 25 tahun dianggap tidak wajar.

Tapi hal itu memang benar adanya, remaja yang melakukan pernikahan sebelum usia biologis maupun psikologis yang tepat rentan menghadapi dampak buruknya. Mengenai hal itu, psikolog yang concern di bidang psikologi anak Rudangta Arianti Sembiring, Psi, membenarkannya.

"Sebenarnya banyak efek negatif dari pernikahan dini. Pada saat itu pengantinnya belum siap untuk menghadapi tanggung jawab yang harus diemban seperti orang dewasa. Padahal kalau menikah itu kedua belah pihak harus sudah cukup dewasa dan siap untuk menghadapi permasalahan-permasalahan baik itu ekonomi, pasangan, maupun anak. Sementara itu mereka yang menikah dini umumnya belum cukup mampu menyelesaikan permasalahan secara matang," kata Rudangta saat berbincang dengan okezone melalui telepon genggamnya, Rabu (29/10/2008).

Ditambahkan olehnya, remaja yang menikah dini baik secara fisik maupun biologis belum cukup matang untuk memiliki anak. Sehingga kemungkinan anak dan ibu meninggal saat melahirkan lebih tinggi.

"Idealnya menikah itu pada saat dewasa awal yaitu sekira 20-sebelum 30 tahun untuk wanitanya, sementara untuk pria itu 25 tahun. Karena secara biologis dan psikis sudah matang, sehingga fisiknya untuk memiliki keturunan sudah cukup matang. Artinya risiko melahirkan anak cacat atau meninggal itu tidak besar," papar staf pengajar di Universitas Kristen Satya Wacana ini.

Lebih lanjut Rudangta menuturkan, unsur biologis lebih dinomorsatukan daripada segi psikologis.

"Sebenarnya kalau kematangan psikologis itu tidak ditentukan batasan usia, karena ada juga yang sudah berumur tapi masih seperti anak kecil. Atau ada juga yang masih muda tapi pikirannya sudah dewasa," tutur ibu satu anak puteri ini.

Ditambahkan Rudangta, kondisi kematangan psikologis ibu menjadi hal utama karena sangat berpengaruh terhadap pola asuh anak di kemudian hari.

"Yang namanya mendidik anak itu perlu pendewasaan diri, jadi harus ada kematangan dan pemahaman diri untuk dapat memahami anak. Kalau masih kekanak-kanakan, maka mana bisa sang ibu mengayomi anaknya. Yang ada hanya akan merasa terbebani karena di satu sisi masih ingin menikmati masa muda dan di sisi lain dia harus mengurusi keluarganya," imbuh wanita ramah ini.

sumber: okezone.com

Pages

 
Free Web Hosting | Top Web Host